Bersinergi Meningkatkan Kesehatan Rakyat Indonesia Hingga Pelosok
Get link
Facebook
X
Pinterest
Email
Other Apps
Kesehatan adalah salah satu pondasi utama untuk membangun kemajuan suatu bangsa. Sumber daya manusia yang unggul tidak akan tercapai tanpa adanya kesehatan yang memadai. Oleh karena itu, sudah semestinya tingkat kesehatan rakyat menjadi prioritas negara untuk diurus.
Jika mau melongok lebih dalam, masih banyak masalah kesehatan yang dihadapi Bangsa Indonesia. Beberapa masalah yang ada kini sudah menjadi fokus kerja kementerian kesehatan hingga 5 tahun ke depan, yaitu Angka Kematian Ibu dan Bayi (AKI/ AKB), stunting, pencegahan dan pengendalian penyakit, gerakan masyarakat hidup sehat (GERMAS), dan tata kelola sistem kesehatan. Masalah tersebut masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Ditambah lagi kondisi pandemi sekarang, makin berat beban kesehatan negeri ini.
Masalah gizi seperti stunting dan kurang gizi masih menghantui tanah air, bahkan di kota besar. Jika di kota besar saja masih terdapat kasus gizi buruk, bagaimana nasib pelosok? Masih lekat dalam ingatan ketika Kabupaten Asmat, Papua mengalami Kejadian Luar Biasa (KLB) campak dan gizi buruk.
Pada Maret 2018 tercatat sebanyak 66 jiwa meninggal dunia karena campak dan 10 meninggal karena gizi buruk. Suatu ironi bahwa di tanah yang kaya akan sumber daya alam mengalami kasus gizi buruk hingga menjadi sorotan PBB. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain minimnya kualitas makanan bergizi dan akses kesehatan yang jauh dari layak.
Tidak meratanya akses kesehatan menjadi salah satu ganjalan yang membuat tingkat kesehatan masyarakat masih rendah, terutama di daerah terpencil. Menjaga kesehatan rakyat memanglah bukan tugas pemerintah semata, tetapi juga kewajiban setiap individu dan perlu kerja sama masyarakat untuk mencapainya. Namun, negara tetap bertanggung jawab menyediakan fasilitas kesehatan, seperti yang tercantum dalam UUD 1945.
Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. (UUD 1945 pasal 34 ayat 3)
Pasal undang-undang di atas menunjukkan bahwa negara bertanggung jawab untuk menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai dari Sabang sampai Merauke. Sayangnya, ketersediaan fasilitas kesehatan meliputi klinik, rumah sakit, dan laboratorium belum merata.
Terdapat kesenjangan antara Indonesia bagian barat seperti Pulau Jawa dengan daerah Indonesia Timur. Akses kesehatan di daerah perifer dan terpencil masih sangat terbatas, terutama di Indonesia bagian timur, seperti papua.
Pembangunan yang sangat pesat berada di Pulau Jawa yang ibarat “wajah” Indonesia. Sebagaimana pada umumnya, wajah selalu mendapat perhatian lebih dan terus “dipercantik” dengan skincare berupa pembangunan infrastruktur yang masif. Jika kita menginjakkan kaki di ibu kota, gedung-gedung pencakar langit berdiri dengan kukuh. Fasilitas umum termasuk fasilitas kesehatan sangat mudah dijumpai. Tidak perlu khawatir jika merasa kurang enak badan karena fasilitas kesehatan dan transportasi sangat mudah diakses.
Keadaan yang sangat jomplang terlihat di ujung timur Indonesia. Terlalu fokus merawat wajah membuat bagian lain seperti disampingkan. Tak apalah kuku kaki cantengan toh bisa kita tutup dengan alas kaki yang mengkilat. Padahal, rasa nyeri pada kuku kaki yang cantengan bisa membuat kita tertatih-tatih ketika berjalan.
Pembangunan yang lebih terpusat di Pulau Jawa membuat daerah perifer “terpinggirkan” dan ketinggalan. Tak perlulah membicarakan fasilitas hiburan seperti mall dan bioskop, fasilitas primer seperti fasilitas kesehatan saja masih sangat terbatas. Kalau bisa memilih, jangan sampai jatuh sakit ketika berada di pelosok. Sudahlah fasilitas kesehatan terbatas, kondisi geografis sulit dilalui, dan akses transportasi juga terbatas.
Data dan informasi dari kemenkes menunjukkan penyebaran fasilitas kesehatan yang tidak merata. Puskesmas, klinik, rumah sakit, hingga sumber daya manusia banyak tersebar di Pulau Jawa. Dari rasio jumlah puskesmas per kecamatan tahun 2018, angka Papua dan Papua Barat paling rendah dibandingkan puluhan provinsi lainnya, yaitu 0,73. Sementara DKI Jakarta memperoleh angka tertinggi yaitu 7,30. Sebuah perbedaan yang sangat besar.
Sumber data: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI
Mari kita cermati grafik di atas. Nilai Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) Papua juga berada di peringkat paling bawah. IPKM adalah suatu metode penilaian untuk melihat perkembangan status kesehatan seluruh masyarakat Indonesia. Ada 30 indikator penilaian yang dibagi menjadi tujuh sub indeks, yaitu kesehatan balita, kesehatan reproduksi, pelayanan kesehatan, perilaku kesehatan, penyakit tidak menular, penyakit menular, dan kesehatan lingkungan.
Secara nasional nilai IPKM tahun 2018 meningkat dibandingkan tahun 2013 dengan indeks tertinggi diraih oleh Provinsi Bali dan terendah adalah Provinsi Papua. Kabupaten/ Kota yang mendapat nilai 10 besar tersebar di Bali, Jawa, dan Sumatra. Sedangkan 10 Kabupaten dan Kota dengan nilai IPKM terendah berada di ujung timur Indonesia, yaitu Papua.
Dari data ini, semestinya pemerintah membuka mata dan turun tangan untuk mengatasi kesenjangan yang ada. Sudah saatnya pemerintah meratakan akses dan fasilitas kesehatan yang baik untuk sesama.
Merawat Kesehatan Indonesia Hingga ke Pelosok
Salah satu upaya pemerintah dalam menjamin kesehatan setiap warga negara adalah melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Prinsip JKN adalah asuransi sosial, artinya setiap peserta wajib membayarkan sejumlah iuran yang terjangkau. Bagi masyarakat miskin, tak perlu lagi pusing memikirkan iuran karena ditanggung pemerintah. Dana yang terkumpul akan diolah secara efektif dan efisien untuk kemaslahatan bersama.
Namun, apa artinya mempunyai dana yang besar tetapi tidak ada fasilitas kesehatan? Dana yang ada pun tidak akan terserap dengan optimal. Penelitian yang dilakukan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD menyebutkan bahwa terdapat ketimpangan yang cukup besar dalam klaim BPJS di Indonesia bagian Timur dibandingkan Pulau Jawa. Salah satu contohnya adalah klaim BPJS di NTT yang hanya 30 miliar, sangat jauh dibandingkan klaim Provinsi Jawa Tengah yang mencapai 7 triliun.
Meski kuota klaim besar, beberapa daerah pelosok dan pedalaman tidak bisa menggunakannya secara maksimal. Keterbatasan akses transportasi, minimnya fasilitas kesehatan, dan tidak meratanya penyebaran tenaga medis menjadi biangnya. Dengan begitu, sudah semestinya pembangunan infrastruktur dan pemerataan SDM di daerah pelosok mulai diperhatikan. Jangan sampai masyarakat yang sudah memberikan iuran setiap bulan justru tidak bisa merasakan manfaatnya karena tidak tersedia sarana dan prasarananya.
Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama di bidang kesehatan. Mulai dari memperbaiki sarana transportasi, mendirikan fasilitas kesehatan, serta meratakan penyebaran dokter dan tenaga medis ke daerah pelosok. Walaupun penyebaran tenaga medis kini sudah mulai digalakkan pemerintah dengan program nusantara sehat, tetapi sifatnya hanya sementara. Para tenaga medis akan pergi lagi ketika batas waktunya selesai. Agar para tenaga medis tersebut “betah” di daerah terpencil maka perlu jaminan keselamatan dan kesejahteraan.
Demi menyediakan fasilitas kesehatan di daerah pelosok Indonesia, ada dua alternatif yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Pertama, pemerintah fokus untuk membangun semua fasilitas kesehatan di daerah terpencil. Kedua, pemerintah menggandeng pihak swasta untuk membangun fasilitas kesehatan di daerah pelosok.
Bersinergi Bersama KORINDO
Dalam memberikan kontribusi untuk bangsa, KORINDO group adalah salah satu pihak yang patut diteladani. Sebagai perusahaan besar yang menghasilkan berbagai produk mulai dari kayu lapis, kertas, perkebunan kayu, dan perkebunan kelapa sawit, KORINDO juga turut berperan dalam memajukan negara.
Eksplorasi sumber daya alam yang dilakukan KORINDO hingga ke pelosok Indonesia seperti Merauke dan Kabupaten Boven Digoel, Papua. KORINDO juga berperan aktif dalam memajukan kawasan industrinya dalam berbagai aspek seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, ekonomi, dan pengadaan pangan. Aspek-aspek tersebut secara langsung dan tidak langsung berpengaruh kepada tingkat kesehatan masyarakat.
Di bidang pendidikan KORINDO secara rutin memberikan beasiswa kepada para pelajar dari berbagai tingkat. Hingga Juni 2019, KORINDO telah menyerahkan beasiswa setidaknya sebanyak 74 juta kepada para pelajar tingkat SD hingga perguruan tinggi. Dengan semakin tingginya tingkat pendidikan maka masyarakat semakin melek dengan kesehatan.
Di bidang ekonomi, KORINDO menyerap ribuan tenaga kerja dari masyarakat Papua. Dengan begitu taraf hidup masyarakat pun semakin meningkat. Dengan kemampuan ekonomi yang baik, masyarakat pun mampu memperoleh pangan yang lebih baik dan menjangkau fasilitas kesehatan.
KORINDO bantu garap sawah dan membina budidaya sayuran
Selain itu KORINDO juga banyak memberikan pelatihan untuk meningkatkan swasembada pangan. Misalnya membantu para petani menggarap sawah dan membina para mama di Papua untuk membudidayakan sayuran. Bahkan KORINDO juga memberikan bantuan langsung berupa ratusan kilo beras untuk beberapa daerah. Dengan begitu diharapkan bisa membantu memperbaiki status gizi rakyat Papua agar tidak terulang lagi tragedi kurang gizi yang menelan banyak korban jiwa.
Sedangkan untuk infrastruktur, beberapa jembatan telah dibangun oleh KORINDO group. Misalnya jembatan Kali Totora di Desa Prabu-Asiki. Pembangunan jembatan dan infrastruktur ini mempermudah mobilisasi masyarakat. Dengan begitu roda perekonomian dan pendidikan akan semakin meningkat, serta akses menuju fasilitas kesehatan juga semakin mudah.
Untuk melihat peran KORINDO di Papua, bisa disaksikan dalam video berikut:
Klinik Asiki, Upaya KORINDO Untuk Meningkatkan Kesehatan yang Baik untuk Sesama
Dalam upaya memberikan layanan kesehatan yang baik untuk sesama, KORINDO membangun sebuah klinik di Desa Asiki, Papua. Desa ini terletak di ujung timur Indonesia, yaitu di Kabupaten Boven Digoel yang langsung berbatasan dengan negara tetangga. Letaknya yang di pedalaman membuat akses transportasi dan infrastruktur sangat minim. Tingkat kesehatan masyarakat pun jauh dari kata baik.
Kondisi itulah yang membuat KORINDO tergerak untuk membangun Klinik Asiki, memberikan peran nyata untuk menyediakan fasilitas kesehatan di daerah pinggiran. Klinik ini diresmikan pada September 2017 dan terus dilakukan perbaikan. Gedung klinik seluas 1100 meter persegi ini mempunyai fasilitas yang terbilang lengkap, tak kalah dengan puskesmas kota besar. Mulai dari ruang rawat jalan, rawat inap, ruang bersalin, perinatologi/ ruang perawatan bayi, IGD, farmasi, ruang bedah minor, dan penyediaan ambulans tersedia di klinik Asiki.
Klinik Asiki. Sumber foto: korindonews.com
Terdapat 8 program prioritas klinik Asiki, yaitu menurunkan angka kematian ibu hamil, peningkatan pelayanan ibu melahirkan dan bayi baru lahir, keluarga berencana, memperbaiki status gizi masyarakat, mengendalikan penyakit menular dan tidak menular, kesehatan lingkungan, pengembangan JKN, penanggulangan bencana dan krisis kesehatan, meningkatkan pelayanan kesehatan primer, dan meningkatkan SDM yang profesional. Semua program tersebut sinergis dengan program kementerian kesehatan.
Melalui program tersebut, tak heran klinik Asiki berhasil menurunkan angka kematian ibu dan anak di Boven Digoel. Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia termasuk tinggi, yaitu mencapai 309 per 100.000 ibu. Demi membantu keselamatan ibu hamil, tenaga medis dari klinik Asiki aktif menjemput ibu hamil agar bisa melahirkan dengan prosedur medis yang benar di klinik. Kondisi geografis yang terjal, menyusuri sungai, dan masuk hutan pun dilalui para tim medis demi keselamatan ibu dan bayi.
Klinik Asiki juga mempunyai program mobile service untuk memberikan penyuluhan, pemeriksaan kesehatan, pengobatan, dan memberikan bantuan berupa susu dan makanan kepada para warga di kampung terpencil dan perbatasan. Klinik Asiki juga turun langsung ketika terjadi KLB kurang gizi di Papua. Dengan peran aktif dari klinik Asiki, kejadian tersebut dapat segera teratasi.
Sumber foto: korindonews.com
Dengan semua fasilitas dan program yang digalakkan, tak heran klinik Asiki menjadi klinik terbaik se-Papua versi BPJS tahun 2019. Klinik yang terletak di pedalaman tanah Papua ini menjadi yang terbaik kedua dari 6.800 klinik lain yang bekerja sama dengan BPJS. Pihak BPJS memberikan pujian untuk klinik Asiki dan bahkan tidak menyangka bahwa di pedalaman terdapat klinik besar dengan fasilitas lengkap.
Kesehatan memang salah satu aspek yang menjadi perhatian KORINDO group. Oleh karena itu perusahaan terus berupaya untuk menjaga dan meningkatkan kualitas klinik demi meningkatkan kesehatan masyarakat.
Langkah KORINDO ini sepatutnya diteladani oleh semua perusahaan besar di seluruh negeri demi kesehatan yang baik untuk sesama. Andai semua korporasi mau bersinergi, tentunya kesenjangan kota besar dan daerah pelosok pedalaman semakin menyempit. Semoga harapan meningkatnya kualitas kesehatan di pedalaman ini segera terwujud, demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sebenarnya saya sudah apatis dengan politik , termasuk pemilu kali ini, setelah melihat dinamika politik yang terjadi lima tahun ke belakang. Pemilu 2019 menyebabkan polarisasi masyarakat menjadi dua kubu hingga muncul sebutan cebong dan kampret. Plot twistnya adalah tokoh yang didukung oleh “kampret” ini malah bergabung bersama kabinet yang didukung para “cebong”. Rakyat yang di bawah sudah gontok-gontokkan, saling serang, dan caci maki mendukung masing-masing junjungan. Ujung-ujungnya setelah mendapat kekuasaan keduanya malah bersalaman dan berdiri berdampingan. Bahkan sekarang keduanya makin erat menjalin hubungan politik dalam pemilu presiden. Tak peduli walau harus mengobrak-abrik aturan negara. Jika dilihat, tak ada yang benar-benar kawan dan lawan dalam politik, semua hanya demi kepentingan. Pemilu yang disebut sebagai pesta rakyat dan pesta demokrasi malah berujung jadi perang rakyat. Karena hal itu, saya sudah bodo amat dengan pemilu. Golput sajalah. Toh bisa saja nanti ketig...
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah” – Pramoedya Ananta Toer Dulu saya bergabung dengan grup WA para ibu yang ingin belajar menulis di kelas bunda produktif Ibu Profesional. Saat sedang sesi perkenalan, salah satu member bilang ke saya “Mbak, saya sering lho baca tulisan mbak di IDN TIMES.” Wah, nggak nyangka ketemu pembaca tulisan saya. Rasanya senang dan bangga, ternyata tulisan saya ada yang baca, hehe. Dulu sebelum punya blog sendiri, saya suka menulis di IDN TIMES . Selain bisa menyalurkan hobi dan pengetahuan, bisa dapat cuan juga, lumayan buat jajan. Di era teknologi seperti sekarang, media untuk menulis semakin beragam, mulai dari buku, blog, dan platform media daring. Jika belum bisa menulis buku sendiri, bisa nulis ramai-ramai jadi buku antologi. Kalau ingin menulis suka-suka bisa membuat blog sendiri. Media daring pun sudah banyak yang menerima tulisan dari umum seperti IDN TIMES, kompasian...
Pepatah lama mengatakan “Cinta ditolak dukun bertindak.” Apakah setiap penolakan harus direspon dengan melibatkan dukun? Jika begitu bayangkan betapa sibuknya dukun di seluruh dunia! Setiap hari, pasti ada penolakan yang dialami seseorang. Ditolak saat melamar kerja, lamaran nikah tidak diterima pasangan atau tidak direstui calon mertua, tulisan ditolak penerbit, masakan dilepeh anak, dan masih banyak lagi jenis penolakan yang terjadi setiap harinya. Penolakan yang belum lama ini saya alami adalah ditolak saat apply jadi freelance content writer di salah satu media dan di situs freelancer . Bukan ditolak mentah-mentah sih, lebih tepatnya di-ghosting tanpa kabar. Karena sudah berminggu-minggu tidak ada kejelasan, saya anggap saja itu ditolak. Bagaimana rasanya ditolak? Awalnya tentu saja sakit! Tapi lama-lama jadi biasa saja. Sudah beberapa kali saya nge-bid di situs freelancer luar negeri, tapi belum ada yang tembus. Beberapa kali pula tulisan yang saya kirim ke media online ditol...
Comments
Post a Comment