Sebuah Puisi untuk Mengenang 2020 dan Menyambut 2021
Get link
Facebook
X
Pinterest
Email
Other Apps
Jika mengenang tahun 2020 yang baru saja lewat, pasti lebih banyak kenangan pahitnya. Pandemi yang tiba-tiba datang tanpa peringatan, segala resolusi yang gagal bahkan sebelum pertengahan tahun, dan rencana yang gagal total, dan perjalanan yang terpkasa dibatalkan. Tak heran banyak yang menganggap 2020 adalah tahun yang kelam dan berharap segera berlalu.
Mari kita coba flashback ke tahun yang lalu. Saat itu covid-19 baru muncul, disebabkan oleh orang-orang yang mengkonsumsi daging yang seharusnya tidak dimakan. Hanya karena hal sepele muncul virus aneh ini.
Saat itu juga, Covid-19 belum masuk ke Indonesia. Kita bahkan bangga dan membuat lelucon tentang hal itu. Hingga akhirnya negara kita kecipratan juga oleh corona. Iya, awalnya hanya cipratan sedikit. Namun, karena tidak disiplin terhadap protokol kesehatan, cipratan itu seakan jadi badai yang tidak berkesudahan hingga sekarang.
Kelamnya 2020 adalah ulah manusia sendiri. Sudah sepantasnya kita, para manusia, yang berubah jika ingin keadaan membaik. Sayangnya, masih banyak yang menyepelekan pagebluk ini, bahkan menganggapnya sebuah konspiraasi belaka. Huft.
Baiklah, sudah cukup aku sambat dalam bentuk artikel. Kini aku akan sambat dalam bentuk puisi. Sebenarnya, ini adalah tantangan ODOP komunitas ISB. Jadi, maafkan jika puisi ini tidak puitis.
Sebuah Puisi untuk 2020 & 2021
Dear 2020,
Maaf, kami mengutukmu sebagai tahun yang buruk
Padahal, keserakahan manusialah yang membuatmu menjadi terpuruk
Maaf, kami menyumpahimu sebagai tahun yang sial
Padahal, ulah manusialah yang membuatmu terjungkal
Maaf, kami meninggalkan banyak peristiwa pahit saat kamu datang
Maaf, kami membuatmu dikenang sebagai tahun yang kelam
Maaf, karena kami menginginkanmu cepat berlalu
Tanpa kami sadari bahwa bukan waktu yang menyembuhkan
melainkan usaha nyata kami, para manusia
Dear 2021,
Maaf, kami tak menyambutmu dengan meriah seperti tahun yang terdahulu
Bukannya kami tak ingin,
kami hanya berusaha agar pagebluk ini tak kian memburuk
Ah, tapi nyatanya masih banyak manusia yang tak peduli dan tak mau tahu.
Dear 2021,
Semua umat manusia di muka bumi berharap masamu kian membaik.
Berusaha membangun lagi asa yang sempat hancur lebur.
Berusaha menyusun kembali bongkahan harapan yang sempat porak-poranda.
Walau dalam hati kecil aku tak berani terlalu berharap semua kembali normal seperti sedia kala.
Mungkin masker ini masih akan menjadi bagian dari OOTD kami
Tak peduli betapa inginnya kami melihat senyum dan warna lipstik sahabat.
Mungkin kami belum bisa memeluk kerabat
Tak peduli sudah berapa purnama kami tak bersua.
Mungkin kami tetap harus mengukur jarak ketika berjumpa
Tak boleh terlalu dekat, agar virus tak melompat
Mungkin dengan itu kami bisa belajar…
Tentang berharganya sebuah pertemuan,
Berharganya bisa bernapas dengan bebas,
Berharganya sebuah pelukan,
Dan mahalnya harga kesehatan.
Aku tak akan berhenti berharap dan berdoa
Agar bumi kembali pulih
dan kita semua bisa melalui waktu dalam setiap tahun dengan lebih baik..
Sebenarnya saya sudah apatis dengan politik , termasuk pemilu kali ini, setelah melihat dinamika politik yang terjadi lima tahun ke belakang. Pemilu 2019 menyebabkan polarisasi masyarakat menjadi dua kubu hingga muncul sebutan cebong dan kampret. Plot twistnya adalah tokoh yang didukung oleh “kampret” ini malah bergabung bersama kabinet yang didukung para “cebong”. Rakyat yang di bawah sudah gontok-gontokkan, saling serang, dan caci maki mendukung masing-masing junjungan. Ujung-ujungnya setelah mendapat kekuasaan keduanya malah bersalaman dan berdiri berdampingan. Bahkan sekarang keduanya makin erat menjalin hubungan politik dalam pemilu presiden. Tak peduli walau harus mengobrak-abrik aturan negara. Jika dilihat, tak ada yang benar-benar kawan dan lawan dalam politik, semua hanya demi kepentingan. Pemilu yang disebut sebagai pesta rakyat dan pesta demokrasi malah berujung jadi perang rakyat. Karena hal itu, saya sudah bodo amat dengan pemilu. Golput sajalah. Toh bisa saja nanti ketig...
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah” – Pramoedya Ananta Toer Dulu saya bergabung dengan grup WA para ibu yang ingin belajar menulis di kelas bunda produktif Ibu Profesional. Saat sedang sesi perkenalan, salah satu member bilang ke saya “Mbak, saya sering lho baca tulisan mbak di IDN TIMES.” Wah, nggak nyangka ketemu pembaca tulisan saya. Rasanya senang dan bangga, ternyata tulisan saya ada yang baca, hehe. Dulu sebelum punya blog sendiri, saya suka menulis di IDN TIMES . Selain bisa menyalurkan hobi dan pengetahuan, bisa dapat cuan juga, lumayan buat jajan. Di era teknologi seperti sekarang, media untuk menulis semakin beragam, mulai dari buku, blog, dan platform media daring. Jika belum bisa menulis buku sendiri, bisa nulis ramai-ramai jadi buku antologi. Kalau ingin menulis suka-suka bisa membuat blog sendiri. Media daring pun sudah banyak yang menerima tulisan dari umum seperti IDN TIMES, kompasian...
Pepatah lama mengatakan “Cinta ditolak dukun bertindak.” Apakah setiap penolakan harus direspon dengan melibatkan dukun? Jika begitu bayangkan betapa sibuknya dukun di seluruh dunia! Setiap hari, pasti ada penolakan yang dialami seseorang. Ditolak saat melamar kerja, lamaran nikah tidak diterima pasangan atau tidak direstui calon mertua, tulisan ditolak penerbit, masakan dilepeh anak, dan masih banyak lagi jenis penolakan yang terjadi setiap harinya. Penolakan yang belum lama ini saya alami adalah ditolak saat apply jadi freelance content writer di salah satu media dan di situs freelancer . Bukan ditolak mentah-mentah sih, lebih tepatnya di-ghosting tanpa kabar. Karena sudah berminggu-minggu tidak ada kejelasan, saya anggap saja itu ditolak. Bagaimana rasanya ditolak? Awalnya tentu saja sakit! Tapi lama-lama jadi biasa saja. Sudah beberapa kali saya nge-bid di situs freelancer luar negeri, tapi belum ada yang tembus. Beberapa kali pula tulisan yang saya kirim ke media online ditol...
Comments
Post a Comment