Papua Future Project, Merajut Asa Meringkus Buta Aksara di Tanah Papua

Papua future project

Bulan Agustus kemarin sempat viral berita tentang puluhan siswa SMP di Pangandaran yang belum bisa baca tulis. Bagaimana tanggapan teman-teman? Miris, bukan? Saya pun bertanya-tanya, untuk lulus SD dan masuk ke SMP kan harus melalui ujian, bagaimana mereka bisa lulus ujian tersebut jika tidak bisa membaca dan menulis?  Pangandaran terletak di Pulau Jawa, akses ke sarana pendidikan masih terbilang mudah. Ironisnya masih banyak siswa yang buta huruf. Lalu, seperti apa nasib anak-anak di daerah 3T (terluar, terpencil, tertinggal) seperti Papua?

Sudah 78 tahun Indonesia merdeka, tetapi masih ada rakyatnya belum merdeka dari buta aksara. Kenyataan pahit tersebut seakan memaksa kita untuk memaklumi kenapa skor PISA Indonesia selalu berada di peringkat 10 terbawah. Tak perlu terlalu jauh membicarakan skor PISA. Kemampuan membaca dan literasi masyarakat bukan semata untuk mengatrol skor PISA, bukan? Ada yang lebih penting dari itu. Membaca adalah jembatan ilmu dan buku adalah jendela dunia. Bagaimana bisa membuka jendela dunia jika tidak punya jembatan menuju ke sana.

Literasi di Indonesia

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia, Nadiem Makarim, menyatakan bahwa tingkat literasi rakyat Indonesia masih rendah. Berdasarkan hasil Asesmen Nasional tahun 2021, Indonesia mengalami darurat literasi. Masih banyak siswa SD hingga SMA yang belum mencapai kompetensi minimal literasi.

Hasil survei PISA 2018, Indonesia mendapat peringkat 74 dari 79 negara. Peringkat enam dari bawah. Skor literasinya jauh di bawah rata-rata. Sedangkan, menurut Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) tahun 2020 dari skala 1-100 skor Indonesia adalah 64,48. Masih jauh dari yang diharapkan.

Selain itu, terdapat kesenjangan literasi antara daerah kota dan daerah 3T. Sarana pendidikan, ketersediaan guru, dan akses bahan bacaan masih belum merata. Masih ada daerah yang belum dijangkau oleh akses pendidikan yang layak. Data dari Badan Pusat Statistik tahun 2020 menyebutkan bahwa sebanyak 3,65% penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas buta huruf. Papua menjadi provinsi dengan jumlah buta huruf paling banyak, yaitu sebesar 18,81%.

Literasi di Pulau Mansinam, Papua

literasi-di-pulau-mansinam

Salah satu anak di Pulau Mansinam sedang belajar menulis. Sumber foto: IG @papuafutureproject

 

Papua, pulau di ujung timur Indonesia yang terkenal dengan keindahan baharinya. Sebut saja Raja Ampat, semua yang mendengar pasti langsung terbayang gugusan pulau kecil dengan kemilau biru air laut. Salah satu tempat yang banyak menjadi wishlist tujuan wisata.

Tak hanya Raja Ampat, banyak pulau lain di Papua yang menjadi daya tarik para pelancong. Salah satunya adalah Pulau Mansinam. Pulau ini termasuk di wilayah Provinsi Papua Barat. Jaraknya sekitar 6 km dari pusat kota Manokwari. Untuk ke sana kita harus menyeberang laut memakai perahu dari kota Manokwari. Jika cuaca bersahabat, perjalanan laut bisa ditempuh dalam waktu 15-20 menit.

Pulau Mansinam merupakan tonggak peradaban Papua, terkenal sebagai tujuan wisata religi. Wilayahnya dikelilingi laut dengan pantai berpasir putih dan air laut yang berwarna biru jernih. Pohon kelapa berjejer di sepanjang pantai, melambai-lambai kepada setiap pengunjung.

Namun, siapa yang menyangka di balik 1001 pesonanya, masih banyak masyarakatnya yang tidak bisa membaca, menulis, berhitung, dan tidak mengenal teknologi. Bahkan banyak anak seusia kelas 5 dan 6 SD yang belum bisa membaca. Pernahkah teman-teman membayangkan di era teknologi yang sudah serba canggih ini masih ada anak-anak yang tidak mengenal teknologi? 

Di kota-kota besar sangat sering kita jumpai anak-anak yang begitu lekat dengan gawai. Begitu piawainya mereka menggerakkan jari di atas layar smartphone. Bahkan banyak kasus anak kecanduan gawai. Berbanding terbalik dengan di Pulau Mansinam, bagaimana cara mengetik saja mereka tidak tahu.

Fasilitas pendidikan di sana sangat minim. Akses terhadap buku bacaan amat jauh dari jangkauan. Jangan bayangkan perpustakaan dengan koleksi buku yang beragam atau toko buku yang menjual buku terbitan terkini. Gedung sekolah saja masih terbatas. Hanya ada satu Sekolah Dasar (SD) di sana. Itu pun belum dimanfaatkan dengan efektif dan maksimal. Setiap harinya anak-anak hanya belajar di sekolah selama 2 jam. Bahkan, jadwal masuk sekolah tergantung cuaca. Jika cuaca buruk atau badai menerjang, guru mereka tidak bisa hadir lantaran tidak bisa menyeberang laut untuk ke sekolah. Jika begitu, maka sekolah terpaksa “diliburkan”.

Bukan hanya kuantitas, kualitas tenaga pengajarnya pun masih jauh tertinggal. Banyak guru yang belum bisa mengikuti perkembangan. Apalagi kurikulum pendidikan kita sering berubah. Ganti pejabat, ganti pula kebijakan. Belum sempat menuntaskan kurikulum yang satu, sudah ganti ke kurikulum yang lain. Jika di kota lain sekolah-sekolah sedang berganti ke kurikulum merdeka yang dicanangkan bapak menteri pendidikan, di Pulau Mansinam boro-boro memikirkan pergantian kurikulum, bisa sekolah setiap hari saja sudah syukur. 

Kesenjangan tersebut mengakibatkan pendidikan anak-anak di Pulau Mansinam jauh tertinggal. Mirisnya keadaan tersebut menggugah nurani seorang pemuda kelahiran Papua bernama Bhrisco Jordy Dudi Padatu yang sudah sejak kecil tinggal di Kabupaten Manokwari.

Melihat ketimpangan pendidikan di tanah kelahirannya membuat pria yang akrab dipanggil Jordy resah. Sampai kapan keadaan akan terus begini. Padahal pendidikan adalah hal yang sangat fundamental. Jika hanya mengandalkan pemerintah entah kapan akan berubah. Ia menyadari perubahan bisa dimulai dari dirinya sendiri, walaupun melalui aksi yang kecil. Tetes-tetes kecil air yang terus menerus mampu mengikis sebuah batu, bukan? 

Ia pun tak hanya berpangku tangan dan segera mengambil peran. Papua Future Project ia dirikan sebagai tanda pengabdian kepada tanah kelahiran. Ia memulai proyek tersebut di Pulau Mansinam.

Papua Future Project, Berantas Buta Huruf di Tanah Papua

pulau-mansinam

anak-anak sedang belajar bersama seorang relawan. Sumber foto: IG @papuafutureproject

 

Rombongan anak muda menaiki perahu menyeberangi laut. Angin menerpa, ombak menerjang, mengiringi perjalanan mereka ke pulau seberang. Di ujung sana anak-anak sudah siap menyambut dengan semangat. Mereka sudah tak sabar untuk membangun jembatan menuju jendela ilmu. Seperti gelap yang menantikan terang.

Begitu antusiasnya anak-anak di Pulau Mansinam setiap rombongan tim Papua Future Project datang. Apalagi, para relawan tak datang dengan tangan kosong. Berbagai buku bacaan dan bermacam makanan ringan siap dibagikan. Namun, yang utama tetaplah kehadiran kakak-kakak yang akan mengajarkan mereka bagaimana caranya melihat susunan huruf di buku menjadi suatu bacaan yang bermakna.

Papua Future Project adalah komunitas pemuda yang mengangkat isu literasi anak di daerah 3T, khususnya di Papua. Komunitas ini didirikan oleh Jordy tahun 2020. Anggota timnya adalah para relawan yang ikhlas tanpa bayaran material. Modal awal untuk membangun komunitas ini ia kumpulkan dari gajinya saat bekerja sampingan sebagai barista dan waiter. Ia sempat bekerja selama 2 bulan sambil kuliah daring semasa pandemi. Hasil keringatnya inilah yang ia gunakan untuk modal mendirikan Papua Future Project.

Awalnya Jordy hanya mengajak tiga teman terdekatnya untuk menjadi relawan pengajar. Kini sudah semakin banyak yang mendaftar menjadi relawan. Setiap seminggu sekali tim Papua Future Project berkunjung ke Pulau Mansinam. Tak hanya mengajarkan membaca dan menulis, mereka juga mengajarkan tentang lingkungan dan kesehatan. 

Berbagi Buku Tingkatkan Literasi

“The more that you read, the more things you will know. The more that you learn, the more places you’ll go.” – Dr. Seuss

Setiap datang ke Pulau Mansinam, rombongan tim Papua Future Project membawa berbagai buku bacaan untuk anak-anak. Mereka tak sekadar mengajarkan membaca dan menulis, tetapi juga memberikan buku bacaan yang menarik agar anak-anak gemar membaca.

Sebuah sudut bertajuk “pojok baca” didirikan. Bak sebuah perpustakaan mini, di sinilah tempat anak-anak bisa membuka wawasan mereka melalui buku. Semoga saja kelak ada perpustakaan yang lebih layak di sini.

Buku-buku tersebut didapatkan dari sumbangan para donatur. Jadi, jika teman-teman ingin menyumbangkan buku bisa banget, loh.

pojok-baca-papua-future-project

Salah satu pojok baca yang didirikan tim Papua Future Project.
Sumber foto: IG @papuafutureproject

Edukasi Seputar Lingkungan

Bagi masyarakat Pulau Mansinam alam adalah pemberi kehidupan. Hutan dan laut ibarat mama bagi mereka. Alam adalah tempat lahir, hidup, dan mencari makan. Karena itu, hutan dan laut memiliki ikatan batin yang kuat.

Sayangnya keindahan Pulau Mansinam belum diimbangi dengan pengetahuan menjaga alam dan lingkungan. Sampah masih menjadi masalah di sana. Karena itu, tim Papua Future Project juga mengajarkan cara menjaga lingkungan. Mulai dari edukasi tentang jenis sampah, memilah sampah, mengolah sampah, dan bahaya sampah bagi makhluk hidup.

Belajar-memilah-sampah-papua-future-project

Anak-anak sedang membersihkan lingkungan dan memilah sampah. Sumber foto: IG @papuafutureproject

 

Tak hanya mengajarkan teori, tapi langsung praktik. Masyarakat bersama para relawan langsung terjun membersihkan sampah di lingkungan sekitar tempat tinggal dan pesisir pantai agar tidak mencemari lautan. Jangan sampai ada lagi penyu yang memakan plastik dan lumba-lumba yang mati karena siripnya tersangkut baju bekas.

Edukasi Kesehatan

Tim Papua Future Project bekerja sama dengan berbagai instansi memberikan edukasi dan pelayanan kesehatan. Salah satu program yang sudah dijalankan adalah kerja sama dengan UNICEF dan puskesmas setempat memberikan vaksin gratis kepada anak-anak dalam rangka Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN). Selain vaksin, anak-anak juga diberikan vitamin, diperiksa status gizinya. 

Edukasi tentang pola hidup bersih dan sehat juga digalakkan. Anak-anak diajari cara mencuci tangan 6 langkah dan mempraktikkannya. Masih banyak edukasi kesehatan yang diberikan, seperti kesehatan reproduksi dan pendidikan seks untuk anak usia dini.

Mengajar dengan Kurikulum Kontekstual

Seperti sekolah pada umumnya,  timPapua Future Project juga mengajarkan berbagai mata pelajaran seperti matematika, sains, Bahasa Inggris, dan IPS. Metode belajarnya bukan dengan menghafal materi dari buku paket melainkan dengan kurikulum kontekstual.

Kurikulum ini mengintegrasikan teknologi, permainan tradisional, dan nilai-nilai adat sekitar sehingga pendidikan ini tidak menjadi beban bagi anak-anak. Kurikulum dan standar nasional belum bisa diaplikasikan di sini karena starting point-nya saja sudah berbeda dari kota-kota besar. Membuat anak-anak nyaman dan suka belajar lebih penting untuk saat ini.

Dengan berbagai program yang dijalankan, Papua Future Project tidak hanya meningkatkan literasi baca dan tulis, tetapi juga literasi digital, sains, numerasi, dan budaya. Bukan hanya merdeka dari buta aksara, semoga masyarakat Papua dan seluruh rakyat Indonesia bisa merasakan merdeka yang seutuhnya. 

Papua Future Project Kini dan Nanti

tim papua future project bersama anak-anak

tim papua future project bersama anak-anak.
Sumber foto: IG @papuafutureproject

 

“Every Child Mattes” Moto Papua Future Project

Kini, setelah lebih dari 2 tahun berjalan, nama Papua Future Project sudah semakin menggema. Semakin banyak anak muda yang ikut turun tangan menjadi relawan. Daerah cakupannya pun sudah meluas sampai ke luar Pulau Mansinam. Sampai saat ini sudah 7 kampung yang mendapat bantuan dari Papua Future Project dan lebih dari 500  anak asli Papua yang sudah terdampak. Relawan dan tim yang tergabung juga sudah lebih dari 200 orang. 

Gigihnya perjuangan Jordy dalam memberantas buta aksara di tanah Papua membuatnya mendapat penghargaan SATU Indonesia Awards tahun 2022 di bidang pendidikan. Hal itu tidak lantas membuat Jordy berpuas diri, ia ingin komunitasnya tetap berdiri, berkembang, dan terus berdampak. Apalagi sekarang Papua Future Project sudah makin dikenal. Satu persatu bantuan mulai berdatangan.

Pencapaian tersebut bukan tanpa tantangan. Sulitnya transportasi, dana yang terbatas, dan sulitnya mencari tenaga pengajar yang bisa konsisten untuk terus mengajar adalah tantangan yang tersulit. Jordy mempunyai mimpi untuk membelikan perahu bagi anak-anak agar bisa leluasa menggunakannya untuk bersekolah.

Ada pulau lain bernama Pulau Lemon yang tidak ada sekolah di sana. Jadi setiap hari anak-anak harus menyeberang ke Pulau Mansinam untuk bersekolah. Karena keterbatasan perahu, kadang anak-anak mendapat jemputan perahu saat sudah sore.

Saat ini sudah ada bantuan perahu dari pemerintah, tetapi jumlahnya masih terbatas dan pemakaiannya harus bergantian dengan masyarakat, karena perahu ini juga digunakan untuk mencari nafkah.

“Membelikan perahu sampai saat ini masih menjadi wishlist karena harganya yang fantastis,” ucap Jordy dalam sebuah wawancara.

Bagi teman-teman yang ingin membantu Jordy mewujudkan mimpinya membeli perahu atau membantu anak-anak Papua bebas dari buta aksara, teman-teman bisa memberikan donasi berupa buku, alat tulis, atau uang. Jarak bukan halangan untuk membantu.

Semoga Papua Future Project terus berkembang dan berdampak. Semoga semangat Papua Future Project terus menyala hari ini dan seterusnya demi bangkitnya masa depan Papua dan Indonesia. 

 

Sumber:

Wawancara Bhrisco Jordy Dudi Padatu

E-booklet Penerima SATU Indonesia Awards

https://dataindonesia.id/pendidikan/detail/provinsi-dengan-tingkat-buta-huruf-tertinggi-terendah-per-2022

https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/44041/t/Ini%20Alasan%20Syaiful%20Huda%20Prihatin%20dengan%20Indeks%20Literasi%20Indonesia

 

Comments

Popular posts from this blog

Pindah Memilih untuk Berpartisipasi Dalam Pemilu

Membangun Legacy dengan Menulis

Hadapi Penolakan dengan Legowo